Life Love life Thoughts Wedding Series

Wedding Series part 6 – Arranged marriage?

24th April 2016 - 4 min read

Pengen deh ngebahas soal gimana anehnya temen-temen bule saya nangkep cerita soal rencana saya menikah di usia yang bagi mereka masih sangat muda dan apalagi dengan waktu pacaran yang singkat. Dua kolega saya (yang terhitung dekat) tiba-tiba nanya dengan rasa ingin tahunya, “is it arranged marriage?”. Mereka tahu saya akan menikah nggak lama setelah saya dan Damar ketemu kembali semenjak pertemuan pertama kita 3-4 tahun lalu. Kita nggak pernah menjadi temen atau hangout bareng di antara pertemuan pertama kami dan pertemuan kembali kami setahun lalu. Yang jadi pertanyaan mereka, kenapa saya bisa begitu yakin untuk menikah padahal kita nggak pernah tinggal bareng dll. Saya sudah siap dengan pertanyaan macam ini, karena setelah pengumuman pernikahan, pertanyaan selanjutnya adalah ‘berapa lama kalian pacaran?”, pertanyaan yang menyisakan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

Untuk orang barat, wedding/get married itu sekedar formalitas dan bukti kertas agar kedua pasangan memiliki hak adil yang diatur di perundang-undangan pemerintah. Tentunya orang barat yang saya maksud adalah orang-orang barat yang tidak mempercayai agama, ya. Karena bagi mereka pernikahan itu adalah hal kesekian, maka mengenal pasangan dalam jangka waktu yang lama menjadi pokok yang harus dilalui. Nggak jarang juga mereka menikah saat sudah memiliki anak. Dan saya sangat menghormati keputusan mereka ini. Mereka lebih tau yang mereka butuhkan dan prioritas dalam hidupnya, yang penting mereka bahagia.

Mengenal pasangan disini sama artinya dengan tinggal bersama. Saya dan Damar tidak tinggal bersama dan tidak berencana untuk tinggal bersama sebelum menikah, alasan agama/kepercayaan yang kami anut adalah satu hal, tapi hal lain adalah kami ingin menjaga sparks dan kejutan-kejutan baru yang bisa kami temukan setelah menjadi pasangan suami istri. Walaupun begitu, saya percaya mengenal dan berada di satu tempat selama beberapa hari adalah penting untuk manajemen ekspektasi setelah pernikahan (paling nggak selama 1-2 minggu, karena mereka mau nggak mau akan menjadi dirinya sendiri di waktu sepanjang itu). Kami berdua plus kakak adeknya dia ke Iceland bulan Februari lalu, disitu saya mengenal dia lebih jauh, gimana cara dia handle stress, gimana leadership skill-nya dia, gimana rajinnya dia beribadah (poin penting nih, karena saya masih suka telat dan kelewatan heheh it is a huge deal concerning he has been living abroad where islam is mega minority, but he always comes back to his rug). Kami berdua menghabiskan waktu bersama dengan jadi diri sendiri (karena, capek kan berpura-pura selama seminggu), disitu saya semakin tahu kalau kita punya cara berpikir dan pandangan yang sama dalam banyak hal terutama dalam mengatasi masalah. Well, sebenarnya dia much better problem solver karena pembawaannya yang jauh lebih tenang dari saya. Saya udah persiapan dari awal, kalau di suatu perjalanan fraksi yang timbul adalah normal, akan ada waktu dimana mood akan berubah, tapi it went very smoothly untuk kami alhamdulillah. Saya merasa semakin yakin 🙂 🙂 Jadi pengenalan yang bukan cuma ngedate-ngedate aja itu penting bagi saya, walaupun gak sampai harus tinggal bareng.

Saya somewhat pengen ngejelasin dan bikin temen-temenku aware bahwa kami nggak berpikiran setradisional itu. Saya sendiri malah nggak percaya dengan blunt arranged married. Tapi disisi lain, saya juga malas menjelaskan panjang lebar. So ‘is it arranged married?’, I smiled and answered ‘no, we chose each other and he’s the man of my dream. When you know, you know. And we both know what we want, including choosing life partner. And when I find that kind of person, I just cannot wait to live and start the life together’…. 

You Might Also Like

No Comments

Leave a Reply